Opini Ahmad Saefudin: Ngaji Puasa Anti-Mainstream, Belajar dari Kristen

Opini Ahmad Saefudin: Ngaji Puasa Anti-Mainstream, Belajar dari Kristen

Ini adalah tulisan lama. Tepatnya kisaran empat tahun lewat. Ketika itu, saya sengaja menyempatkan diri untuk ngaji tentang hakikat puasa. Hanya saja tempatnya bukan di masjid atau musala. Melainkan melalui dialog interaktif via japri (jaringan pribadi) Whatsapp.

Kiainya juga tidak lazim sebagaimana biasanya. Kalau ngaji dengan ustad, bagi saya sudah terlalu mainstream. Apalagi dalam nuansa bulan suci. Mulai subuh sampai subuh lagi, di mana-mana isinya pengajian.

Biar agak anti-mainstream, sekali-kali saya beranikan diri mendaras puasa kepada Bapend (Bapak Pendeta) dan Bupend (Ibu Pendeta). Mereka ini orang-orang hebat. Di Islam, mereka setara dengan ulama-kiai. Jangan dikira jadi Pendeta itu mudah. Syaratnya berat, kawan! Minimal lulus strata sarjana. Jurusan yang diambil juga harus spesifik, yaitu teologi. Ini bedanya dengan kita, orang Islam. Menjadi ustad atau kiai, belum tentu atau tidak kudu susah payah kuliah segala.

Topik pengajian yang diobrolkan ialah “Puasa Perspektif Agama Kristen”. Bagi yang kurang setuju atau merasa agak bagaimana, saya mohon maaf sebelumnya. Tapi ingat, ya! Tak boleh marah, apalagi mencaci maki. Apakah mau jika puasa kita hari ini harus muspro hanya karena gagal mengendalikan mulut? Tentunya tidak.

Motivasi saya menanyakan konsep puasa ke Bapend dan Bupend sejatinya sederhana, berangkat dari satu istilah, “kutiba alaikum al-siyam kama kutiba ala al-ladzina min qablikum” seperti yang termaktub dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 183. Kita sangat mafhum, ayat ini dari tahun ke tahun selalu menjadi tranding topic di dunia perustadan ketika memasuki bulan Ramadan. Karena begitu seringnya disebut di mimbar-mimbar pengajian, maka wajar jika pernah populer satu ungkapan bahwa Ramadan adalah bulan kutiba.

Dari hasil ngaji saya kepada mereka, terdapat satu titik temu mengenai makna puasa yaitu menahan. Puasa dalam hal ini ialah konsep universal yang tidak didominasi oleh agama tertentu. Buktinya, tradisi berpuasa atau berpantang selama 40 hari juga dilakukan oleh orang Kristen menjelang Paskah (kebangkitan Yesus Sang Guru) dari dunia orang mati. Secara detail, Bapend menjelaskan tentang hakikat puasa perspektif tradisi Protestan ala GKJ, Gereja Kristen [basis budaya] Jawa.

Tujuan Puasa

Tujuan dari tradisi berpuasa ala GKJ bukan untuk memperoleh kesaktian tertentu, namun lebih kepada bentuk pengendalian diri, emosi, dan nafsu-nafsu duniawi; karena saat Yesus Sang Guru melakukan puasa 40 hari 40 malam, ia saat itu digoda iblis dengan 3 hal duniawi. Pertama, batu dijadikan roti supaya Yesus Sang Guru yang lapar dikenyangkan. Kedua, tawaran kemuliaan duniawi di mana Yesus Sang Guru akan diberi kerajaan dunia, jika saja ia mau menyembah iblis. Ketiga, keyakinan yang sesat di mana Yesus Sang Guru diminta untuk terjun bebas dari bubungan Bait Allah di Yerusalem dan malaikat-malaikat Allah akan datang menatangnya. Dalam konteks ini, sepertinya Bapend menguraikan Lukas 4:1-13. Maka, GKJ tegas mengajarkan bahwa berpuasa adalah laku spiritualitas agar batin semakin dicerahkan atas berbagai keglamoran dunia yang membutakan iman umat.

Puasa atau pantang ala GKJ, tambahnya, adalah puasa dalam frame kebebasan (Jawa: Mardika). Artinya bahwa umat sendiri yang menentukan teknis pelaksanaannya. Misalnya, berpuasa seperti penganut Islam (dari sebelum matahari terbit sampai setelah terbenam), berpuasa 24 jam, berpuasa 6 jam, dan seterusnya. Dengan catatan, pelaksanaan puasa atau pantang tidak boleh menyiksa diri sendiri yang berdampak terhadap kesehatan. Mungkin ada yang memantang kesenangan hariannya, seperti makan daging, merokok, dan sebagainya.

Bapend sangat setuju dengan apa yang diusulkan Sri Paduka Paus (Roma Katolik) pada tahun 2019. Paus mengajak umat Katolik berpuasa terkait karakter pribadi. Semacam mengeluh, bersungut-sungut, marah, tidak sabar, dan etiket buruk yang lain.

Senada dengan Bapend, Bupend dari tradisi gereja yang lain juga menjelaskan esensi puasa. Baginya, puasa tidak lain ialah menahan diri dari perbuatan negatif dan nafsu duniawi. Selain bertujuan mengekang ambisi, banyak juga orang Kristen melakukan ibadah puasa, makan khususnya, ketika sedang mendoakan sesuatu yang sangat krusial dalam hidupnya. Biasanya ia lebih banyak memanfaatkan kesempatan untuk memanjatkan doa-doa khusus sesuai pergumulannya.

Dalam hal durasi waktu, puasa dalam Kristen bisa dilakukan kapan saja. Sebab fokus puasa adalah merendahkan diri di hadapan Allah, sambil menyatakan kasih dan cinta kita kepada Dia lewat doa-doa khusus. Di samping itu, juga untuk menyangkal diri dari segala keinginan duniawi. Jadi, puasa tidak dikhususkan pada bulan-bulan tertentu. Bisa dilaksanakan kapanpun tergantung panggilan hati dan kesiapan diri. Pada praktiknya, berpantangnya orang Kristen seperti meneladani puasa Yesus selama 40 hari. Ada pula yang mencontoh Ester, Yunus, atau Paulus selama 3 hari, puasa Ayub 7 hari atau Daniel 10 hari. Sesuai dengan kesanggupan dan komitmen yang dibangun dari masing-masing individu.

Di luar itu, ada juga mereka yang berpuasa dengan cara tidak makan dan hanya minum air putih selama periode waktu tertentu. Waktu berbuka bisa di pagi hari, saat doa subuh. Mereka yang melakukan ritual ini biasanya karena harus beraktifitas pada siang hari. Tetapi ada juga yang berbuka pada malam harinya. Intinya, tergantung kesepakatan dengan tim, kalau memang puasa tersebut dilakukan secara kelompok atau tim doa. Jika puasa mandiri, bisa diatur sendiri sesuai waktu yang dianggap nyaman. Namun yang pasti, puasa dilakukan seturut dengan komitmen dan proses disiplin diri yang sedang dilakoninya.

Setelah ngaji dengan mereka tentang bab puasa, saya jadi sedikit paham mengenai tafsir ayat kama kutiba ala al-ladzina min qablikum. Semoga hati kita selalu diterangi oleh-Nya. Sehingga, kita semua sukses mengakhiri Ramadan dengan titel muttaqin. Yaitu orang-orang yang dibersihkan dari aneka bujuk rayu duniawi. Amin.


Komentar



Berita Sejenis