
Jangan Main-main di NU, Apalagi Mempermainkan NU
Ahmad Saefudin,
Kepala Pusat Studi Aswaja An-Nahdliyyah UNISNU JEPARA
Mengapa setiap even transisi kepemimpinan, baik level Muktamar di pusat maupun Konferensi Cabang (Konfercab) di daerah, NU selalu menarik untuk dilirik? Bahkan sebagian besar pengamat terpancing untuk menelanjangi profil kandidat Ketua Umum lengkap dengan segudang rekam jejaknya, sembari enggan menguak terlalu dalam proses-proses persidangan komisi yang hasil akhirnya nanti membuahkan rekomendasi organisasi.
Padahal dua aspek tersebut sama pentingnya. Tanpa rekomendasi yang berkualitas, pemimpin NU ibarat pilot yang kehilangan navigasi. Ia limbung tak paham arah. Sebaliknya, rekomendasi sebaik apapun, sebatas artefak gagasan nir-aksi, jika tidak dikendalikan oleh figur pemimpin mumpuni. Sedangkan porsi jamaah nahdliyyin selaku penumpangnya, paling banter hanya mampu bersorak hore saat pesawat sukses mendarat dan berteriak histeris ketika roda organisasi tergelincir, oleng.
Kembali ke pertanyaaan awal. Jawaban pertama dan paling mudah tentu karena NU merupakan jam'iyyah yang marwahnya ditopang oleh barisan ulama. Istilah terakhir ini sejak dulu jadi magnet, tidak saja bagi Indonesianis domestik, tapi juga para sarjana mancanegara.
Peran ulama memang unik. Apalagi dalam tubuh NU, mereka cenderung dinamis dan sulit diteropong dengan kaca mata monolitik. Era 1960-an, Geertz memberi label terhadap kontribusi ulama sebagai pialang budaya (cultural broker).
Wajar. Kala itu sudah masyhur bahwa ulama memiliki kecakapan memperantarai urusan keagamaan antara kalangan santri dengan abangan. Posisi komunitas orang-orang alim ini pun terhitung moderat, berdiri di antara kepentingan kelompok alit masyarakat Jawa dengan kasta elite priyayi dalam pelbagai persoalan politik.
Klaim teoretik Geertz hanya bertahan dua dekade. Hirokoshi (1987) mengajukan tesis baru. Ulama bukan lagi menjadi pialang budaya. Dalam situasi tertentu, justru jadi penyumbat komunikasi publik. Ulama kerap memutus mata rantai pengetahuan yang dianggap bisa membahayakan. Boleh jadi, mengancam eksistensi mereka atau mendatangkan celaka bagi masyarakat luas.
Entah sebagai perantara ataupun penyumbat budaya, otoritas ulama NU tak ada matinya. Zaman boleh berganti, peradaban terus melaju. Namun kharisma ulama tak pernah layu. Bahkan setelah munculnya eksponen intelektual baru dari perguruan tinggi yang kemudian membentuk komune akademisi. Juga aneka sajian mewah menu informasi dari mesin pencari sebagai efek simultan revolusi industri berbasis digitalisasi.
Jawaban kedua mengenai penyebab riuhnya atmosfer menjelang Muktamar atau Konfercab NU, menurut hemat saya, karena publik terus menunggu dan semakin dibuat penasaran. Kira-kira, apakah setiap calon Ketua Umum, atau setidaknya tim sukses ring satu masing-masing kubu pengusung, mempunyai agenda terselubung; memanfaatkan kendaraan NU demi orientasi politik kekuasaan yang sifatnya pragmatis.
Ungkapan kasarnya, (me)nyalon(kan) Ketua Umum sebagai batu loncatan untuk menaiki tangga jabatan bupati, gubernur, menteri, dan presiden. Minimal menggoda elite parpol tertentu agar bersedia meminang ke arah sana. Apakah niat semacam ini bisa ditoleransi? Pasti tanggapan kita beragam.
Saya jadi ingat kisah KH. Saifuddin Zuhri saat ditawari Ir. Soekarno jadi menteri. Karena bersikeras menolak, Sang Presiden susah payah membujuknya. Sampai-sampai memanggil Sang Kiai hingga tiga kali dalam kurun sepuluh hari.
Merasa galau dengan permintaan presiden, KH. Saifuddin Zuhri berkonsultasi dengan para sesepuh. Di antaranya Rais 'Aam, Simbah KH. Abdul Wahab Hasbullah dan Ketua Umum PBNU KH. Idham Chalid.
Kemudian terjadilah percakapan penting antara tokoh yang terakhir disebut dengan KH. Saifuddin Zuhri. Saya kutipkan secara lengkap sebagaimana termaktub dalam karya autobiografinya, "Berangkat dari Pesantren".
“Coba yakinkan aku, apa manfaatnya aku menjadi menteri agama?” aku menghalang-halangi Pak Idham masuk ke dalam mobilnya.
“Pertanyaannya jangan apa manfaatnya menjadi menteri agama, tetapi apa madhorotnya kalau menolak?”… Aku disadarkan oleh kata-kata “apa madhorotnya” kalau aku menolak. Seolah mendengar kata K.H.A. Wahab Hasbullah Rois ‘Aam, “tak ada lagi ikatan antara NU dengan Pemerintah dan hal itu berarti suatu Musibah."
Dari kisah di atas, selaku santri, kita tak elok berprasangka buruk terhadap para kiai NU yang memilih berjuang di medan politik praktis. Berpikir positif saja. Niat mereka tentu untuk kebesaran dan kemasyhuran jam'iyyah. Lha kalau tidak bagaimana? Yakinlah. Tinggal tunggu akibatnya. Bukankah NU itu bisa "mberkahi" dan "malati"? Jadi hati-hati. Jangan main-main di NU, apalagi mempermainkan NU.
Komentar